Ahok Ungkap Sosok Berkuasa yang Angkat Dia jadi Komut Pertamina, ‘Dia juga yang Jadikan Saya Napi Toh?’

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali membahas luka lama perihal dirinya yang harus masuk bui akibat kasus penistaan agama. Mantan Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) itu membagikan ceritanya dalam acara dialog Eropa Bersatu: Festival Tiga Jari yang disiarkan di kanal YouTube Eropa untuk Ganjar Mahfud.

Dalam video yang diunggah pada 4 Februari 2024 itu, awalnya Ahok bercerita bahwa ada satu orang mantan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mencoba “menakutinya”. Mantan kader dari Partai Banteng itu mengingatkan agar Ahok bisa membaca zaman menjelang Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.

Ahok membeberkan orang tersebut mengatakan seharusnya dia memilih untuk mendukung calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut dua, yakni Prabowo-Gibran, yang didukung oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

“Jadi kalau kira-kira yang menang 02 sama Pak Jokowi, kamu harusnya pilih mereka. Kamu bisa jadi Dirut (Direktur Utama PT Pertamina) terus jadi menteri,” kata Ahok menirukan mantan kader PDIP tersebut.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu kemudian mengungkapkan bahwa pada Juni 2023 lalu, dia sempat ditawarkan menjadi Dirut PT Pertamina. Namun, dia menegaskan bahwa dia siap melepas jabatannya apabila merasa Ganjar akan kalah dalam kontestasi Pilpres 2024. Dia juga memilih untuk berjuang memenangkan Ganjar.

“Kalau kamu merasa Ganjar akan kalah tidak bisa satu putaran, kamu all out dong dukung Ganjar. Lalu dia bilang kamu makan apa, (saya) gak usah ditakut-takuti. Saya nggak usah sebut nama lah ya (orang yang menakut-nakuti) sudah keluar dari PDIP,” ucapnya.

Ahok kemudian mengungkapkan bahwa dia ditelepon seseorang yang memintanya untuk mengingat jasa “orang berkuasa” yang telah menjadikannya sebagai Komisaris Utama PT Pertamina.

“Dia telepon saya, ‘kamu masih ingat lho jasanya lho, (kamu) napi dijadikan komut’. Saya bilang saya dijadikan napi oleh siapa? Dia juga yang jadikan saya napi toh?,” ujar Ahok.

Lantas, bagaimana cerita Ahok yang harus masuk penjara karena kasus penistaan agama?

Kronologi Ahok Terlibat Kasus Penodaan Agama

Berdasarkan catatan Tempo, kasus Ahok bermula dari sebuah potongan video pidatonya di Kepulauan Seribu pada September 2016 yang tersebar di dunia maya. Saat itu, Ahok berkunjung ke Kepulauan Seribu untuk mensosialisasi program budidaya ikan kerapu. Namun, lidah Ahok selip saat tengah berpidato dengan menyitir ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51. Dari 40 menit durasi pidato Ahok, potongan video sepanjang 13 detik ini kemudian diperdebatkan.

“Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak-ibu enggak bisa pilih saya, ya—dibohongin pake surat Al Maidah surat 51 macam-macam gitu, lho. Itu hak bapak-ibu, ya. Jadi, kalo bapak-ibu, perasaan enggak bisa pilih, nih, karena takut masuk neraka, dibodohin gitu, ya, enggak apa-apa. Karena ini kan panggilan pribadi bapak-ibu. Program ini jalan saja. Ya, jadi bapak ibu enggak usah merasa enggak enak dalam nuraninya enggak bisa pilih Ahok. Enggak suka ama (sama) Ahok. Tapi programnya, gue kalo terima, gue enggak enak dong ama dia, gue utang budi. Jangan. Kalau bapak-ibu punya perasaan enggak enak, nanti mati pelan-pelan, lho, kena stroke,” ujar Ahok.

Atas tindakannya, Ahok didakwa dengan Pasal 156a atau Pasal 156 KUHP. Dia pun dijatuhi hukuman penjara pidana selama dua tahun dan diharuskan membayar perkara Rp 5.000.

“Kami menyatakan Basuki terbukti secara sah meyakinkan melakukan penodaan agama. Menjatuhkan penjara pidana selama dua tahun. Semua barang bukti yang diajukan penasihat hukum dilampirkan, dan membayar perkara Rp 5.000,” ujar Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto, pada Selasa, 9 Mei 2017.

Majelis hakim menolak pembelaan terhadap Ahok ataupun tim kuasa hukumnya. Menurut majelis hakim, pembelaan Ahok, yang mengatakan menyitir ayat suci Al-Quran tersebut karena adanya ketidakadilan, justru dibantah. Berdasarkan fakta, majelis hakim menilai justru terdakwa menimbulkan kegaduhan karena pidatonya. Menurut majelis hakim, sebagai seorang gubernur, seharusnya terdakwa bisa bersikap jujur, bersih, sopan, dan santun.

“Ini murni perkara pidana dan terbukti menodai agama. Majelis hakim menilai terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan harus dinyatakan bersalah” ujar salah satu anggota majelis hakim, Selasa, 9 Mei 2017.

Sumber: tempo.

 

Tinggalkan Balasan