Kurang dari sepekan menjelang pemungutan suara, jajak pendapat terakhir sejumlah lembaga survei menyebut posisi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di peringkat satu. Namun, pengamat mengingatkan masyarakat bahwa angka itu tidak mutlak.
Hasil survei terbaru dari Populi Center menemukan bahwa Prabowo-Gibran unggul 52,5%. Angka tersebut dinilai menunjukkan potensi terjadinya pemilu satu putaran semakin besar.
Namun, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia sekaligus Anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Hamdi Muluk, mengatakan angka 52,5% tidak bisa dinilai mutlak oleh publik.
Sebab, masih harus dipertimbangkan margin of error yang ada dalam survei serta kemungkinan terjadinya perubahan sikap pemilih mendekati atau saat hari pemilu.
“Karena dia bisa meleset 3% ke atas atau ke bawah. Jadi kalau sekarang, misalnya jarak dua minggu Populi menemukan 50,1%, bisa jadi hasil itu tren sekarang,” jelas Hamdi kepada BBC News Indonesia pada Kamis (08/02).
Meski begitu, ia menegaskan bahwa survei-survei yang terpercaya selalu menggunakan metodologi ilmiah yang tepat untuk pengambilan sampel. Jika hasil itu jauh berbeda dari lembaga-lembaga lain, maka Dewan Etik Persepi akan mengambil tindakan.
Lantas, seperti apa hasil survei terbaru terkait elektabilitas capres dan bagaimana cara menyikapi hasil itu?
Survei terbaru Populi Center: Prabowo unggul 52%, bisa satu putaran?
Dalam beberapa hari terakhir, hasil jajak pendapat dari Populi Center menimbulkan polemik di kalangan masyarakat.
Hasil survei menunjukkan elektabilitas Prabowo-Gibran paling unggul di angka 52,5%. Sementara, elektabilitas pasangan Anies Baswedan-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud masing-masing 22,1% dan 16,9%.
Survei tersebut diselenggarakan selama periode 27 Januari hingga 3 Februari, dengan 1.500 responden dari 38 provinsi yang dipilih menggunakan metode acak bertingkat (multistage random sampling).
Sementara, hasil survei terbaru Charta Politika periode 4-11 Januari 2024 yang melibatkan 1.220 responden menunjukkan elektabilitas Prabowo-Gibran berada di angka 42,2%.
Anies-Muhaimin berada di angka 26,7% dan Ganjar-Mahfud di 28%.
Ada pula hasil survei dari Indikator Politik pada periode 10-16 Januari 2024 yang melibatkan 1.200 responden dengan metode multistage random sampling menunjukkan elektabilitas Prabowo-Gibran berada di 48,55%, Anies-Muhaimin di 24,17% dan Ganjar-Mahfud di 21,6%.
Banyak yang menuding lembaga survei tersebut mendukung paslon 02 karena dibandingkan hasil survei dari lembaga-lembaga lain, Populi Center adalah satu-satunya lembaga yang menunjukkan elektabilitas Prabowo-Gibran melebihi angka 51%.
Berdasarkan Pasal 416 Ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, salah satu syarat pemilu satu putaran adalah paslon memperoleh suara lebih dari 50% dari total suara.
Direktur Eksekutif Populi Center, Afrimadona, menegaskan bahwa tidak pernah ada intervensi politik dalam pembuatan survei yang dikeluarkan oleh Populi Center.
“Kami dikontrak, siapapun yang meminta kita melakukan survei. Itu dikontrak, kalau perlu diperlihatkan di kontrak kita itu jelas-jelas tidak ada intervensi di dalam hasil survei yang kita lakukan. Kalau ada intervensi kita betul-betul menghentikan survei.
“Karena kita tidak melakukan konsultasi politik, kita hanya melakukan survei saja,” ujar Afrimadona.
Lebih lanjut, ia mengatakan potensi Pilpres 2024 dimenangkan dalam satu putaran memang semakin besar.
Hal ini tak hanya terbukti dari elektabilitas Prabowo-Gibran, tetapi juga hasil survei yang menunjukkan sebanyak 79,9% responden menginginkan satu putaran, tidak semua pendukung 02.
Akan tetapi, Afrimadona mengatakan bahwa peluang terjadinya pilpres dua putaran juga masih ada, berdasarkan jumlah pemilih mengambang alias swing voters di kisaran 19,4%, merujuk pada survei terakhir.
“Kalau dia [pemiling ambang] mengarah ke luar paslon 02, ini bisa mengubah peta. Memang peluang untuk putaran kedua mengecil, tapi belum menutup kemungkinan. Tapi lagi-lagi realitas 14 [Februari] nanti bisa berubah,” ungkapnya.
Populi Center merupakan lembaga nirlaba yang melakukan kajian opini publik dan kebijakan publik. Lembaga tersebut sudah berdiri sejak 6 Juni 2012 dan berada di bawah badan hukum Yayasan Populi Indonesia.
Populi Center juga pernah mengeluarkan hasil quick count untuk Pilpres 2014 serta survei menjelang Pilpres 2019 yang menunjukkan Jokowi-Ma’ruf unggul 54,1%.
Cara mempertimbangkan margin of error dalam survei elektabilitas
Guru Besar Psikologi Politik UI dan Anggota Dewan Etik Persepi, Hamdi Muluk, mengatakan bahwa hasil survei Populi Center yang menyebut elektabilitas Prabowo-Gibran berada di atas 51% mungkin saja terjadi, namun tidak bisa dinilai mutlak.
Sebab, setiap survei yang dilakukan memiliki margin of error yang membuat hasil berada di kisaran plus-minus 3%.
Artinya, angka yang sebenarnya didapat bisa saja 3% lebih rendah dari yang dilaporkan atau bahkan 3% lebih tinggi.
“Beberapa lembaga-lembaga lain yang memotret [elektabilitas] mendekati 46% atau 47%. Kalau margin of error-nya 3%, bisa mendekati 50%. Tapi bisa juga sesungguhnya 47% itu 43%. Jadi bisa naik-turun ke atas. Dan mungkin Populi ambilnya yang atas,” jelas Hamdi.
Kalaupun ada lembaga survei yang hasilnya jauh berbeda dari kisaran margin of eror, ia mengatakan bahwa Dewan Etik Persepi akan memanggil lembaga survei tersebut dan melakukan sidang internal.
“Semua yang dibawah Persepi, kami ketat urusan metodologi. Jadi kalau ada yang hasilnya aneh, kami panggil dan kami audit seluruh prosedurnya,” katanya.
Pada Juli 2014, Dewan Etik Persepi mengeluarkan dua lembaga survei, yakni Jaringan Suara Indonesia (JSI) serta Pusat Studi Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) dari keanggotaan Persepi.
Keputusan itu merupakan bagian dari pengumuman hasil audit terhadap delapan lembaga survei yang merupakan anggota Persepi.
Ia menjelaskan bahwa seringkali masyarakat menganggap angka hasil survei itu sudah pasti dan menjadi bingung ketika ada survei yang menyebut angka yang lebih rendah atau lebih tinggi dari itu.
Perbedaan hasil survei antar-lembaga, sambung Hamdi, dapat terjadi karena beberapa faktor.
Pertama, periode waktu survei itu dilaksanakan dapat menunjukkan sikap responden yang jauh berbeda, tergantung pada kondisi politik saat itu.
Kedua, adalah perbedaan metodologi yang digunakan dalam survei. Beberapa lembaga lebih sering melakukan survei tatap muka tetapi ada juga yang melakukannya lewat telepon.
“Karena tidak semua rakyat Indonesia itu terjangkau oleh sampling telepon. Jadi kita bisa maklum. Bisa beda. Bedanya cuma 7-8% tapi menganggu juga.
“Karena publik itu suka menilai, mereka karena satu persen aja ribut bedanya. Padahal dalam margin of error yang sama,” jelas Hamdi.
Afrimadona mengatakan bahwa margin of eror dari survei terbaru diperkirakan ± 2,53%. Namun, menurut dia, margin of error yang dilaporkan bisa jadi lebih kecil daripada yang sebenarnya.
“Margin of error lebih kecil karena itu mengasumsikan simple random sample, padahal yang kita lakukan adalah multi stage random rample. Jadi sebenarnya margin of error-nya lebih lebar dari yang seharusnya dilaporkan.
“Itu justru membuat estimasi kita tidak pasti karena kita tidak membuka peluang lebih lebar untuk populasi yang tertangkap,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa angka 52,5% masih merupakan nilai tengah, sehingga angka elektabilitas Prabowo-Gibran sebenarnya berada di kisaran 48% hingga 56%.
Bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi hasil survei yang berbeda?
Hamdi Muluk mengatakan masyarakat seringkali menyalahkan atau bahkan “mencaci-maki” hasil survei yang tidak sesuai dengan ekspektasi mereka.
“Banyak yang bilang survei ini tidak bisa dipercaya. Itu datang dari berbagai macam orang entah dari kyai, politisi, macam-macam. Kalau politisi biasa begitu, kalau enggak enak buat dia, dia bilang semua orang salah, termasuk yang membuat survei,” ujar Hamdi.
Walaupun, Hamdi sendiri tidak menampik keberadaan lembaga-lembaga yang memalsukan hasil survei demi mengelabui mata para pemilih. Ia mengatakan keberadaan lembaga semacam itu membuat publik semakin sulit percaya dengan hasil survei elektabilitas.
Hamdi mengatakan oknum-oknum yang berpura-pura menjadi lembaga survei terpercaya, akan menggunakan nama-nama yang terkesan mirip dengan lembaga resmi – seperti Lembaga Survei Nasional yang mirip dengan Lembaga Survei Indonesia.
Kemudian, tanda lain dapat dilihat dari hasil survei mereka yang cenderung menunjukkan angka yang beda total dengan kebanyakan lembaga survei lain.
“Hasil tracking survei dari lembaga-lembaga yang terpercaya itu jarang meleset. Hampir benar. Jarang meleset banget sampai dia menyimpulkan yang mana yang menang siapa dan hasilnya kebalik, itu jarang,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar masyarakat memeriksa terlebih dahulu rekam jejak lembaga pengedar survei tersebut dan menentukan sendiri kredibilitasnya.
“Apakah itu lembaga yang kredibel rekam jejaknya? [Jika iya], dia tidak mungkin menghancurkan reputasinya dengan mengubah data.
“Karena sepanjang hidup, penghasilannya di situ. Ini bisnis kepercayaan. Sekali Anda main-main, orang tidak akan percaya,” katanya. BBC.com