Jakarta – Seorang pakar asing memprediksi masa depan Indonesia jika Prabowo Subianto terpilih jadi Presiden RI dalam pilpres 2024. Pengamat kajian politik dan keamanan internasional dari Universitas Murdoch, Australia, Ian Wilson, menulis soal Prabowo dan demokrasi di Indonesia dalam opini berjudul “An Election to End All Election?” yang dimuat di media Channel News Asia, Singapura.
Artikelnya pertama kali dirilis di situs Fulcrum pada Selasa, 31 Januari 2024. Situs ini terafiliasi dengan lembaga think tank ISEAS, Yusof Ishak Institute.
Wilson mengawali tulisannya dengan mengutip percakapan antara Anies Baswedan dan Prabowo Subianto saat debat calon presiden pertama pada 12 Desember 2023. Anies mengatakan bahwa masyarakat telah kehilangan kepercayaan terhadap proses demokrasi di Indonesia.
Prabowo menanggapi dengan penuh semangat. “Jika demokrasi gagal, maka hal itu akan terjadi. mustahil bagimu untuk menjadi gubernur!” kata Prabowo.
Menurut Wilson, meskipun beberapa pihak menafsirkan pernyataan Prabowo sebagai pembelaan terhadap sistem pemilu di Indonesia, namun sejak lama menteri pertahanan ini menolak pemilu langsung karena disebut produk impor.
“Dengan latar belakang kemunduran demokrasi di bawah pemerintahan Joko Widodo, situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana demokrasi elektoral akan berjalan di bawah kepemimpinan Prabowo,” kata Ian Wilson.
Ia menulis bahwa Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo, menolak apa yang mereka klaim sebagai arah reformasi liberal-demokratis pasca-1998/1999. Gerindra menganjurkan Indonesia kembali ke UUD 1945 yang asli.
“Hal ini berarti pembatalan amandemen konstitusi yang dibuat antara tahun 1999 hingga 2002 yang mendukung pemilu demokratis, perlindungan hak asasi manusia, dan batasan masa jabatan presiden (dua periode lima tahun),” ujar Wilson.
Wilson melanjutkan dalam artikelnya, bahwa Prabowo memimpin koalisi parlemen multi-partai pada 2014 yang mengesahkan RUU Pemilu yang mengembalikan situasi sebelum 2005. Kepala daerah termasuk gubernur diangkat oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
Setelah mendapat reaksi keras dari masyarakat, termasuk intervensi presiden saat itu yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, akhirnya RUU itu dibatalkan. SBY, pada bulan-bulan terakhir masa jabatannya, mengeluarkan dua dekrit yang membatalkan upaya kudeta legislatif tersebut.
“Intrik elit untuk memperpanjang batas masa jabatan presiden dan mengurangi pemilihan langsung telah menyatukan tujuan ideologis faksi-faksi yang berupaya mengikis, atau bahkan membalikkan, kemajuan demokrasi pasca-reformasi. Hal ini diperburuk dengan ambisi Jokowi untuk mengkonsolidasikan dan melanggengkan warisannya,” tulis Ian Wilson.
“Demokrasi telah dilubangi secara substansial di bawah kepemimpinan presiden yang populer. Otokrasi konstitusional, seperti yang terjadi pada Pilpres 2014, tidak diperlukan lagi bagi Prabowo pada Pilpres 2024 untuk mengkonsolidasikan dan mempertahankan kekuasaan. Lebih jauh lagi, mengungkapkan kecenderungan otokratis semacam itu berisiko, karena hal itu akan memicu reaksi balik dan memberikan peluang bagi para pesaingnya untuk mengkritiknya atau mengambil sikap populis,” kata Ian Wilson.
Dia mengatakan hal ini tidak berarti bahwa Prabowo telah meninggalkan tujuan ideologisnya yang lebih luas, namun kembali mengkalibrasi ulang strateginya, menggunakan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama.
Ian Wilson juga menyoroti gemuknya partai-partai koalisi. Saat ini, pemerinntahan Jokowi nyaris tanpa oposisi. “Seperti yang telah kita lihat selama dekade terakhir, hanya sedikit orang yang tetap berkomitmen untuk menjadi oposisi yang efektif, sebuah peran yang memiliki risiko, seperti kriminalisasi yang ditargetkan,” ujarnya.
Hal ini kemungkinan akan diteruskan oleh Prabowo jika terpilih menjadi presiden. “Pada masa kepresidenan Prabowo, mungkin terdapat perluasan pendekatan pemerintahan yang tanpa oposisi, yang dibingkai oleh kiasan nasionalis yang menjaga persatuan,” ujarnya.
Tanpa oposisi, maka tidak ada basis kekuatan di parlemen yang saling bersaing. Wilson mengatakan bahwa Prabowo bermaksud untuk melibatkan semua pihak dalam pemerintahan di masa depan. “Hal ini mirip dengan model yang berbasis “musyawarah” integralis, seperti yang diharapkan dalam UUD 1945, dan berfungsi untuk lebih memperkuat kekuasaan eksekutif,” ujarnya.
Menurut Ian Wilson, jika Prabowo dapat mempertahankan popularitasnya seperti yang dilakukan Jokowi, ia mungkin akan merasa berani untuk menunjukkan kekuatan otoriternya. “Dan sekali lagi ia mendorong pembatalan amandemen konstitusi pasca tahun 1999 dan diakhirinya pemilihan langsung,” kata Wilson.